Wamenkum Tegaskan RUU Penyesuaian Pidana Jadi Solusi Darurat Narkotika

Rabu, 03 Desember 2025 | 08:01:17 WIB
Wamenkum Tegaskan RUU Penyesuaian Pidana Jadi Solusi Darurat Narkotika

JAKARTA - Dalam proses pembaruan hukum nasional, perhatian kini tertuju pada bagaimana pemerintah memastikan tidak adanya celah hukum ketika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru mulai berlaku pada 2026.

Salah satu langkah strategis yang disiapkan adalah Rancangan Undang-Undang tentang Penyesuaian Pidana, yang diposisikan sebagai instrumen darurat untuk mengisi kekosongan aturan. 

Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej menegaskan bahwa RUU tersebut hadir bukan sebagai tambahan semata, melainkan sebagai mekanisme penyelamat agar tindak pidana narkotika tetap dapat diproses secara hukum saat transisi KUHP berlangsung.

Penjelasan tersebut disampaikan Eddy dalam rapat dengar pendapat di Komisi III DPR RI bersama Gerakan Nasional Anti-Narkotika (Granat) dan Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN). 

Menurutnya, penyusunan RUU Penyesuaian Pidana menjadi krusial karena terdapat beberapa pasal terkait narkotika yang tidak termasuk dalam KUHP baru, sehingga jika dibiarkan, hal ini dapat menimbulkan kekosongan hukum dan menghambat penegakan aturan pada tindak pidana narkotika.

RUU sebagai Instrumen Pengisi Kekosongan Aturan

Eddy menyebutkan bahwa ketentuan pidana yang berasal dari Undang-Undang Narkotika perlu dimasukkan ke dalam RUU Penyesuaian Pidana untuk menjaga keberlangsungan penegakan hukum.

"Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Narkotika yang kita masukkan dalam penyelesaian pidana ini adalah pintu darurat untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum," tegasnya.

Ia menjelaskan bahwa ada dua undang-undang lain yang juga berfungsi sebagai pelengkap dari KUHP baru, yaitu Omnibus Law Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 

Keduanya memiliki ketentuan peralihan yang menyebutkan bahwa aturan pidananya hanya berlaku sampai KUHP baru diberlakukan. Artinya, terdapat kebutuhan mendesak untuk memastikan keberlanjutan aturan pidana agar tidak muncul celah hukum yang berpotensi dimanfaatkan pihak tertentu.

Ketentuan Narkotika Tetap Akan Disempurnakan

Meski menjadi solusi sementara, Eddy menegaskan bahwa aturan pidana terkait narkotika tidak berhenti pada RUU Penyesuaian Pidana. Pemerintah tetap akan menyempurnakan pengaturannya dalam undang-undang tersendiri.

"Tetapi, bagaimana kebijakan kriminal yang baik untuk narkotika, kita akan menyempurnakan di dalam undang-undang," jelas Eddy.

Penempatan Undang-Undang Narkotika sebagai tindak pidana khusus bukan tanpa alasan. Ia menilai bahwa kebijakan mengenai narkotika memiliki karakteristik yang unik karena mengandung unsur pidana administrasi sekaligus memenuhi tujuh kriteria extraordinary crime. Keunikan inilah yang menurutnya perlu dijaga pengaturannya, sehingga tidak dapat langsung diintegrasikan sepenuhnya ke dalam KUHP baru.

Alasan Narkotika Dikategorikan Sebagai Tindak Pidana Khusus

Eddy kembali menegaskan bahwa karakteristik Undang-Undang Narkotika berbeda dari tindak pidana umum lainnya. Di satu sisi, aturan mengenai narkotika mengandung mekanisme administratif, misalnya pengaturan distribusi narkotika untuk kepentingan kesehatan dan riset. Namun, dalam praktik penegakan hukum, tindak pidana narkotika juga memiliki dampak yang sangat luas sehingga masuk dalam kategori kejahatan luar biasa.

"Narkotika adalah hukum pidana administrasi, tetapi dia memenuhi tujuh kriteria sebagai extraordinary crime," ungkapnya.

Karena sifatnya tersebut, Undang-Undang Narkotika memerlukan pengaturan yang tetap berdiri sendiri agar mekanisme penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika tidak terganggu ketika KUHP baru berlaku.

Pasal-Pasal yang Tidak Termuat dalam KUHP Baru

Salah satu isu utama adalah hilangnya sepuluh pasal berkaitan dengan narkotika dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Pasal-pasal yang sebelumnya menjadi dasar penegakan hukum narkotika—seperti Pasal 111, 114, 115, 116, 119, 120, 121, 124, 125, dan 126 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009—tidak dicantumkan dalam KUHP baru.

Menurut Eddy, hilangnya ketentuan tersebut membuat kebijakan kriminal terkait narkotika perlu dikoreksi agar tidak ada kekosongan hukum. Harapannya, Undang-Undang Narkotika yang baru dapat rampung sebelum KUHP diberlakukan. Namun karena proses legislasi belum selesai, pemerintah mengambil langkah darurat dengan memasukkan kembali pasal-pasal yang dicabut ke dalam RUU Penyesuaian Pidana.

"Oleh karena itu, kami mengambil jalan pintas. Jalan pintasnya adalah satu, mengembalikan pasal-pasal yang sudah dicabut dalam Undang-Undang KUHP itu, dan dimasukkan kembali ke dalam Undang-Undang Penyelesaian Pidana," tuturnya.

Upaya Menjaga Konsistensi Penegakan Hukum

Dengan adanya RUU ini, pemerintah berupaya agar tidak ada jeda dalam penegakan hukum terhadap penyalahgunaan maupun peredaran narkotika. Eddy menilai bahwa konsistensi kebijakan sangat penting, terutama karena kejahatan narkotika terus berkembang dan memiliki jaringan yang luas.

Selain menjaga keberlangsungan aturan, pemerintah juga memastikan bahwa kebijakan pidana terkait narkotika nantinya benar-benar disempurnakan melalui undang-undang tersendiri. Dengan demikian, keberadaan RUU Penyesuaian Pidana tidak hanya berfungsi sebagai solusi sementara, tetapi juga sebagai bagian dari desain besar reformasi hukum pidana di Indonesia.

Terkini