Industri Hotel

Industri Hotel Krisis Pasar, PHRI Nilai Kenaikan Upah 2026 Sulit Terwujud

Industri Hotel Krisis Pasar, PHRI Nilai Kenaikan Upah 2026 Sulit Terwujud
Industri Hotel Krisis Pasar, PHRI Nilai Kenaikan Upah 2026 Sulit Terwujud

JAKARTA - Prospek industri perhotelan di Indonesia menghadapi tantangan berat menjelang penetapan upah minimum tahun 2026.

Pelaku usaha menilai, penyesuaian upah di tahun depan sulit dilakukan karena kondisi pasar akomodasi yang belum sepenuhnya pulih.

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyebutkan bahwa sektor akomodasi masih berada dalam tekanan, salah satunya akibat menurunnya aktivitas perjalanan dinas pemerintah. Padahal, kegiatan ini selama ini menjadi salah satu penyumbang utama permintaan layanan akomodasi di Indonesia.

Sekretaris Jenderal PHRI, Maulana Yusran, menjelaskan bahwa tanpa adanya pemulihan pada permintaan pasar, kebijakan kenaikan upah akan sulit diterapkan di sektor perhotelan.

“Kalau kebijakan upah minimum 2026 naik tapi tidak ada perbaikan pasar akomodasi, implementasi penyesuaian upahnya tidak akan berjalan,” ujar Maulana.

Menurut Maulana, sekitar sepertiga dari total permintaan industri akomodasi nasional selama ini bersumber dari perjalanan dinas pemerintah. Ketika kegiatan tersebut dikurangi demi efisiensi anggaran, pelaku usaha kehilangan salah satu segmen pasar paling stabil.

“Pelaku usaha masih mencari sektor yang dapat menggantikan permintaan yang sebelumnya diisi pemerintah,” katanya. “Kondisi ini bukan kegagalan perjalanan bisnis, tapi pasarnya hilang. Mengganti pasar tidak semudah yang dibayangkan.”

Wisata Tidak Cerminkan Performa Akomodasi Nasional

Meskipun jumlah wisatawan mancanegara dan domestik menunjukkan tren peningkatan, Maulana Yusran menilai data tersebut belum menggambarkan kondisi nyata industri perhotelan secara keseluruhan. Ia menyoroti cara perhitungan statistik yang menurutnya tidak sepenuhnya mewakili performa industri akomodasi di tingkat nasional.

“Angka perjalanan wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara tidak mencerminkan performa industri akomodasi nasional,” jelas Maulana. Menurutnya, metode perhitungan kedua data tersebut spesifik pada kegiatan dan daerah tertentu.

Sebagai contoh, perhitungan perjalanan wisatawan nusantara (wisnus) didasarkan pada mobilitas orang antardaerah, bukan pada aktivitas menginap di hotel. “Dengan metode ini, pekerja yang tinggal di Depok, Jawa Barat, dan bekerja di DKI Jakarta telah dihitung sebagai perjalanan wisnus,” ujarnya.

Sementara itu, turis asing yang datang ke Indonesia pada tahun ini umumnya masih terpusat di dua provinsi utama, yakni Jakarta dan Bali. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat okupansi hotel di Jakarta mencapai 53,74%, sedangkan di Bali sebesar 69,54%.

Namun, Maulana menegaskan bahwa kondisi di dua daerah itu tidak bisa menjadi acuan nasional. “Masih ada 500 kabupaten dan kota lain yang memiliki usaha akomodasi yang mencatatkan penurunan okupansi,” ujarnya menambahkan.

Beban Biaya Tenaga Kerja Paling Besar di Industri Akomodasi

Industri akomodasi dikenal sebagai industri padat karya, di mana tenaga kerja menjadi komponen utama dalam struktur biaya usaha. Berdasarkan data BPS tahun 2023, pengeluaran untuk upah tenaga kerja merupakan kelompok biaya operasi terbesar di sektor akomodasi, yaitu 28,29% atau sekitar Rp27,05 triliun.

Namun, tahun ini nilai pengeluaran untuk upah tenaga kerja diperkirakan akan menurun, seiring dengan penurunan tingkat okupansi kamar hotel yang mencapai sekitar 5% secara tahunan.

“Kami melihat tidak akan ada perbaikan pada kuartal terakhir tahun ini,” ujar Maulana. Kondisi ini memperkuat kekhawatiran bahwa pelaku industri tidak akan mampu menyesuaikan struktur biaya untuk mengakomodasi kenaikan upah minimum 2026, jika tidak disertai perbaikan permintaan pasar.

Pemerintah sebenarnya telah memberikan sejumlah insentif fiskal untuk mendukung sektor pariwisata dan perhotelan, di antaranya dalam bentuk Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP). Meski begitu, dampak kebijakan tersebut dinilai masih terbatas.

Insentif Pemerintah Belum Cukup Menopang Industri Hotel

Berdasarkan data BPS, kontribusi PPh terhadap total biaya usaha akomodasi hanya sekitar 2,51%, dengan nilai sekitar Rp2,4 triliun pada tahun 2023. Angka ini dinilai terlalu kecil untuk memberikan efek signifikan terhadap pemulihan industri perhotelan nasional.

“Insentif PPh 21 DTP tidak akan berdampak signifikan bagi industri akomodasi,” ujar Maulana.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa dukungan fiskal saja belum cukup untuk menahan laju penurunan kinerja sektor akomodasi. Diperlukan strategi pemulihan yang lebih menyeluruh, termasuk diversifikasi pasar, promosi pariwisata domestik, dan peningkatan daya beli masyarakat agar permintaan terhadap jasa akomodasi bisa kembali pulih.

Sementara itu, rencana pemerintah menaikkan upah minimum 2026 diperkirakan akan menambah tekanan terhadap struktur biaya hotel, terutama bagi usaha skala menengah dan kecil. Tanpa adanya peningkatan okupansi dan perbaikan pasar, banyak pelaku usaha dikhawatirkan tidak akan mampu menyesuaikan gaji sesuai regulasi baru.

Maulana juga menegaskan bahwa kebijakan upah harus mempertimbangkan kemampuan industri dan kondisi ekonomi sektoral, bukan hanya aspek kesejahteraan pekerja.

“Kalau okupansi turun dan pasar belum kembali, kenaikan upah akan sangat berat bagi pelaku usaha hotel,” ujarnya.

Harapan terhadap Pemulihan Sektor Akomodasi Tahun Depan

Melihat perkembangan tersebut, pelaku industri berharap pemerintah dapat meninjau kembali formula penyesuaian upah minimum 2026, dengan memperhatikan kondisi aktual di lapangan. PHRI juga mendorong agar pemerintah memperluas program pemulihan sektor pariwisata dan akomodasi, bukan hanya melalui insentif pajak, tetapi juga lewat dukungan promosi dan pembukaan kembali pasar baru.

Selain itu, PHRI menilai pentingnya kerjasama lintas sektor antara pemerintah, pelaku industri, dan dunia perbankan dalam memberikan akses pembiayaan yang lebih ringan. Dukungan tersebut diharapkan dapat membantu hotel-hotel kecil dan menengah bertahan di tengah tekanan pasar.

Industri akomodasi merupakan salah satu sektor penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Karena itu, stabilitas industri ini tidak hanya berdampak pada pengusaha, tetapi juga pada jutaan pekerja yang menggantungkan hidup di sektor pariwisata dan perhotelan.

Tanpa langkah pemulihan yang terarah, kenaikan upah minimum tahun depan bisa menjadi beban tambahan bagi industri yang saat ini masih berjuang untuk bangkit.

“Kami tetap mendukung peningkatan kesejahteraan pekerja, tetapi kebijakan itu harus realistis dan disesuaikan dengan kondisi pasar,” tutur Maulana.

Dengan situasi yang masih penuh ketidakpastian, pelaku usaha berharap kebijakan ekonomi tahun depan mampu menjaga keseimbangan antara perlindungan pekerja dan keberlanjutan industri. Hanya dengan demikian, sektor akomodasi dapat kembali berkontribusi optimal terhadap pemulihan ekonomi nasional.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index